29 Mei 1985. Stadion
Heysel di Belgia dipenuhi sekitar 58-60 ribu pendukung dua klub kiblat
sepakbola di pertengahan 80-an, Liverpool dan Juventus. Keduanya hadir guna
mendukung tim kesayangannya berlaga di final Liga Champions 1985.
The Reds dan Il Bianconeri bertemu di final setelah sukses mengalahkan lawan-lawannya di babak semifinal.
Juventus mengalahkan Bordeaux agregat 5-0 sementara Liverpool menyingkirkan
Panathinaikos dengan agregat sama.
Kedua pelatih, Joe Fagan
dari Liverpool dan Giovanni Trapattoni sangat berhasrat untuk memboyong trofi
tersebut sejak ini merupakan laga final ke lima dan ketiga di kompetisi
terbesar di benua biru.
Namun wajah dan masa
depan sepakbola Eropa akan berubah drastis sejak hari itu. Malam yang mereka
akan sebut malam tergelap sepanjang berdirinya Asosiasi Sepakbola Eropa atau
UEFA.
Laga dijadwalkan akan
dimulai pada pukul delapan malam ketika nyaris 50 ribu penggemar sudah
mengantri di depan enam sektor dengan satu sektor diperuntukkan untuk para
penggemar sepakbola di Belgia.
Yang menarik adalah cara
panitia pertandingan menyebarkan alokasi tiket tersebut melalui para agen dan
ticket box di luar stadion. Sejak Belgia memiliki komunitas Italia terbesar,
tifosi Juventus lah yang diuntungkan dengan mendapatkan alokasi tiket lebih
banyak.
Sementara para Kopites
atau pendukung Liverpool hanya kebagian sekitar 15-20 persen dari alokasi tiket
saja. Terlebih Heysel dianggap tidak layak menggelar sebuah partai
internasional selevel Liga Champions yang kemudian dibantah oleh UEFA sendiri.
Penjagaan kurang ketat
menjadi faktor tambahan yang juga memiliki peran besar. Di sinilah menjadi awal
dari bencana besar yang akan menimpa laga tersebut.
Satu jam sebelum laga
dimulai, kedua pendukung di dalam stadion khususnya di sektor X dan Z mulai
bersitegang. Suasana mulai panas ketika kedua pendukung saling melempar
nyanyian berbau cacian dalam kondisi mabuk berat.
Batu-batu hingga botol
minuman keras mulai berterbangan hanya dalam waktu 15 menit saat konfrontasi
terjadi. Pendukung Liverpool yang hanya menjadi kaum minoritas di sana mulai
tergerak untuk menyerang kerumunan fans Juventus di sektor Z.
Sementara itu para
petugas keamanan yang hanya berjumlah ratusan tak mampu berbuat banyak. Bahkan
seorang polisi tidak dapat berkomunikasi karena baterai walkie-talkie miliknya
habis.
Tidak beberapa lama,
pagar pembatas di sektor Z akhirnya rubuh dan ribuan fans Liverpool yang dalam
keadaan mabuk langsung menyerang sektor yang diisi para pendukung Juventus.
Tak pelak, beberapa
tifosi Juventus yang panik berjatuhan dan terinjak-injak para penggemar
Liverpool yang datang menyerang. 39 pendukung Juventus dan seorang warga Belgia
tewas serta ribuan lainnya mengalami cedera ringan hingga parah.
Kapten The Reds kala itu,
Alan Hansen coba menggambarka situasi mengerikan di malam tersebut. "Tidak
ada yang membawa batu dari luar stadion. Jelas yang mereka lempar adalah
serpihan dari stadion. Para pendukung juga hanya dipisahkan dengan pagar
kandang ayam. Inilah yang menjadi perpaduan sempurna tragedi tersebut."
ungkapnya kepada BBC.
"Ketakutan kita
semakin jelas ketika kita berada di dalam ruang ganti dan seseorang berkata
kalau kita dalam masalah besar dan jelas kita juga mendengar adanya korban
jiwa." jelas Hansen.
Hal yang sama juga
diungkapkan seorang survivor dari tragedi tersebut, Antonio Conti yang
kehilangan putri tercintanya. "Pada pukul 19.25, semuanya terjadi. Ketika
saya bangkit, saya berada di antara mayat-mayat para korban. Saya melihat putri
saya yang terbujur kaku dan saya tahu saat itu bahwa putri saya sudah
tiada." tutur Conti.
Kerusuhan masih terus
terjadi bahkan saat pertandingan di mulai. Melihat situasi tersebut, sang wasit
yang bertugas, Andre Daina memberhentikan pertandingan selama 1,5 jam.
Meski banyak memakan
korban jiwa, laga final Liga Champions tersebut tetap dilangsungkan meski
menerima kecaman dari beberapa penggawa Juventus dan Liverpool seperti Michel
Platini dan Kenny Dalglish. Alhasil, laga tersebut dimenangkan oleh Juventus
dengan skor 1-0 berkat eksekusi penalti Platini.
Usai laga, investigasi
dilakukan oleh kepolisian Belgia yang langsung terjun ke lapangan. Pada
awalnya, para pendukung Liverpool menjadi pihak yang disudutkan karena dianggap
menjadi biang keladi kejadian tersebut.
Namun setelah 18 bulan
investigasi, Pengadilan Tinggi Belgia di bawah hakim Marina Coppieters merilis
sebuah dokumen penyelidikan. Hasilnya, para pihak keamanan dalam artian
kepolisian Belgia di bawah komando Kapten Johan Mahieu menjadi pihak yang
paling bertanggung kawan atas kejadian ini.
27 pendukung yang
dianggap sebagai provokator dari kedua belah pihak turut ditahan. 14 di
antaranya bahkan dijatuhi hukuman tiga tahun kurungan penjara.
Liverpool sebagai klub
yang mengalami nasib buruk di malam tersebut juga mendapatkan hukuman. Perdana
Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher memaksa FA untuk melarang klub-klub
Inggris berkompetisi di Eropa.
Dua hari kemudian,
permintaannya dikabulkan UEFA. Selama lima tahun, semua jatah masuk ke Liga
Champions bagi klub-klub Inggris ditiadakan.
Before: Rata-rata stadion di Eropa di awal 70-an
dan 80-an masih memiliki standing tribune atau tribun tanpa tempat dukung yang
menjadi lokasi favorit para pendukung.
After: Seluruh standing tribune dirubuhkan dan
digantikan oleh tribun dengan tempat duduk atau All-seater stadia yang menjadi
syarat kelayakan sebuah stadion.
Before: Pagar pembatas menjadi salah satu alat
keamanan stadion yang paling diutamakan di medio 70 hingga 80-an.
After: Pagar keamanan ditiadakan terutama setelah
Tragedi Heysel dan Hillsborough. UEFA lebih memilih pengaplikasian kamera CCTV
di berbagai lokasi stadion.