Monday, July 29, 2013

Apa Yang Sebenarnya Terjadi Pada 29 Mei 1985 di Heysel, Belgia?


29 Mei 1985. Stadion Heysel di Belgia dipenuhi sekitar 58-60 ribu pendukung dua klub kiblat sepakbola di pertengahan 80-an, Liverpool dan Juventus. Keduanya hadir guna mendukung tim kesayangannya berlaga di final Liga Champions 1985. 

The Reds dan Il Bianconeri bertemu di final setelah sukses mengalahkan lawan-lawannya di babak semifinal. Juventus mengalahkan Bordeaux agregat 5-0 sementara Liverpool menyingkirkan Panathinaikos dengan agregat sama.

Kedua pelatih, Joe Fagan dari Liverpool dan Giovanni Trapattoni sangat berhasrat untuk memboyong trofi tersebut sejak ini merupakan laga final ke lima dan ketiga di kompetisi terbesar di benua biru.

Namun wajah dan masa depan sepakbola Eropa akan berubah drastis sejak hari itu. Malam yang mereka akan sebut malam tergelap sepanjang berdirinya Asosiasi Sepakbola Eropa atau UEFA.

Laga dijadwalkan akan dimulai pada pukul delapan malam ketika nyaris 50 ribu penggemar sudah mengantri di depan enam sektor dengan satu sektor diperuntukkan untuk para penggemar sepakbola di Belgia.

Yang menarik adalah cara panitia pertandingan menyebarkan alokasi tiket tersebut melalui para agen dan ticket box di luar stadion. Sejak Belgia memiliki komunitas Italia terbesar, tifosi Juventus lah yang diuntungkan dengan mendapatkan alokasi tiket lebih banyak.

Sementara para Kopites atau pendukung Liverpool hanya kebagian sekitar 15-20 persen dari alokasi tiket saja. Terlebih Heysel dianggap tidak layak menggelar sebuah partai internasional selevel Liga Champions yang kemudian dibantah oleh UEFA sendiri.

Penjagaan kurang ketat menjadi faktor tambahan yang juga memiliki peran besar. Di sinilah menjadi awal dari bencana besar yang akan menimpa laga tersebut.

Satu jam sebelum laga dimulai, kedua pendukung di dalam stadion khususnya di sektor X dan Z mulai bersitegang. Suasana mulai panas ketika kedua pendukung saling melempar nyanyian berbau cacian dalam kondisi mabuk berat.

Batu-batu hingga botol minuman keras mulai berterbangan hanya dalam waktu 15 menit saat konfrontasi terjadi. Pendukung Liverpool yang hanya menjadi kaum minoritas di sana mulai tergerak untuk menyerang kerumunan fans Juventus di sektor Z.

Sementara itu para petugas keamanan yang hanya berjumlah ratusan tak mampu berbuat banyak. Bahkan seorang polisi tidak dapat berkomunikasi karena baterai walkie-talkie miliknya habis.

Tidak beberapa lama, pagar pembatas di sektor Z akhirnya rubuh dan ribuan fans Liverpool yang dalam keadaan mabuk langsung menyerang sektor yang diisi para pendukung Juventus.

Tak pelak, beberapa tifosi Juventus yang panik berjatuhan dan terinjak-injak para penggemar Liverpool yang datang menyerang. 39 pendukung Juventus dan seorang warga Belgia tewas serta ribuan lainnya mengalami cedera ringan hingga parah. 

Kapten The Reds kala itu, Alan Hansen coba menggambarka situasi mengerikan di malam tersebut. "Tidak ada yang membawa batu dari luar stadion. Jelas yang mereka lempar adalah serpihan dari stadion. Para pendukung juga hanya dipisahkan dengan pagar kandang ayam. Inilah yang menjadi perpaduan sempurna tragedi tersebut." ungkapnya kepada BBC.

"Ketakutan kita semakin jelas ketika kita berada di dalam ruang ganti dan seseorang berkata kalau kita dalam masalah besar dan jelas kita juga mendengar adanya korban jiwa." jelas Hansen.

Hal yang sama juga diungkapkan seorang survivor dari tragedi tersebut, Antonio Conti yang kehilangan putri tercintanya. "Pada pukul 19.25, semuanya terjadi. Ketika saya bangkit, saya berada di antara mayat-mayat para korban. Saya melihat putri saya yang terbujur kaku dan saya tahu saat itu bahwa putri saya sudah tiada." tutur Conti.

Kerusuhan masih terus terjadi bahkan saat pertandingan di mulai. Melihat situasi tersebut, sang wasit yang bertugas, Andre Daina memberhentikan pertandingan selama 1,5 jam.

Meski banyak memakan korban jiwa, laga final Liga Champions tersebut tetap dilangsungkan meski menerima kecaman dari beberapa penggawa Juventus dan Liverpool seperti Michel Platini dan Kenny Dalglish. Alhasil, laga tersebut dimenangkan oleh Juventus dengan skor 1-0 berkat eksekusi penalti Platini.

Usai laga, investigasi dilakukan oleh kepolisian Belgia yang langsung terjun ke lapangan. Pada awalnya, para pendukung Liverpool menjadi pihak yang disudutkan karena dianggap menjadi biang keladi kejadian tersebut.

Namun setelah 18 bulan investigasi, Pengadilan Tinggi Belgia di bawah hakim Marina Coppieters merilis sebuah dokumen penyelidikan. Hasilnya, para pihak keamanan dalam artian kepolisian Belgia di bawah komando Kapten Johan Mahieu menjadi pihak yang paling bertanggung kawan atas kejadian ini.

27 pendukung yang dianggap sebagai provokator dari kedua belah pihak turut ditahan. 14 di antaranya bahkan dijatuhi hukuman tiga tahun kurungan penjara.

Liverpool sebagai klub yang mengalami nasib buruk di malam tersebut juga mendapatkan hukuman. Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher memaksa FA untuk melarang klub-klub Inggris berkompetisi di Eropa.

Dua hari kemudian, permintaannya dikabulkan UEFA. Selama lima tahun, semua jatah masuk ke Liga Champions bagi klub-klub Inggris ditiadakan.


Before: Rata-rata stadion di Eropa di awal 70-an dan 80-an masih memiliki standing tribune atau tribun tanpa tempat dukung yang menjadi lokasi favorit para pendukung.

After: Seluruh standing tribune dirubuhkan dan digantikan oleh tribun dengan tempat duduk atau All-seater stadia yang menjadi syarat kelayakan sebuah stadion.

Before: Pagar pembatas menjadi salah satu alat keamanan stadion yang paling diutamakan di medio 70 hingga 80-an.

After: Pagar keamanan ditiadakan terutama setelah Tragedi Heysel dan Hillsborough. UEFA lebih memilih pengaplikasian kamera CCTV di berbagai lokasi stadion.



No comments:

Post a Comment