Cerita bermula ketika aku berusia 6 tahun dan ayahku dipindah tugaskan ke suatu negara maju di benua biru. Ya, England. Tepatnya di Liverpool. Sebuah kota pelabuhan tempat band “The Beatles” berasal. Meninggalkan Indonesia yang merupakan negara kelahiranku bukanlah suatu hal yang mudah. 3 hari di Liverpool, aku masih belum dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan culture disini. Ini membuatku selalu murung dan sedikit frustasi.
Di pagi yang cerah, ketika sang Mentari bergegas menuju singgasananya, aku melakukan sebuah rutinitas yang biasa ku lakukan setiap pagi, memberikan butiran-butiran air segar kepada tumbuhan-tumbuhan hijau yang membutuhkan. Sambil sesekali bersenandung lagu “Desaku” yang menjadi dendang favoritku.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menatapku tajam di belakang. Sontak aku menoleh dan mencari sumber pandangan. Sesosok bocah berambut pirang dengan sepasang bola mata indah memandangiku di samping pintu pagar yang terbuka. Mungkin dia sedikit heran melihat seorang gadis kecil yang berbeda dengan yang lainnya. Maksudku tidak putih pucat, tidak mancung dan tidak bermata biru (read : Indonesian not western).
“Hai,” sapaku ragu-ragu.
“Hai juga, kamu tetangga baru ? Namaku Steven Gerrard, tapi mereka memanggilku Stevie G,” perkenalnya ramah.
“Oh. Aku Alexa. Panggil saja aku Al,” ucapku seadanya.
“Nama yang unik, mau ikut denganku ? Berjalan ke taman kota bukan sesuatu yang buruk kan ?” tawarnya sembari menarik tanganku segera.
Disitulah awal mula aku bertemu dengannya. Sikapnya yang terkesan cuek, sederhana tetapi perhatian membuatku betah berlama-lama disampingnya. Beberapa minggu kedepan ku lalui bersamanya. Melakukan banyak hal mulai dari yang terbodoh sampai yang teridiot. Masih segar diingatanku ketika dia membawaku “kabur” malam-malam hanya untuk melihat bintang merah yang ternyata hanya sebuah lampu tower menara. Hingga membuatkan 100 buah burung kertas yang bermakna “get well soon” untuk seekor kucing yang sakit.
“Bodoh !” ucapku cemberut.
Hanya dengan senyum usilnya yang khas ia membalas wajahku yang kelelahan setelah membuatkan 100 buah burung kertas.
Stevie sangat menyukai sepakbola. Ia memiliki ambisi bermain di tim favoritnya, Liverpool FC. Dia juga pernah berucap seperti ini :
“Aku akan menjadi pemain bola yang hebat suatu hari nanti !”
“Oh ya ? Aku tidak yakin. Kau tidak akan bisa,” ledekku.
“Rese ! Kau meragukanku Al,” gerutunya.
“Buktikan !” tantangku seraya menendang bola.
“Indeed ! Dan kau akan tersenyum bangga melihatku ada di podium tertinggi mengangkat sebuah piala,” imbuhnya dengan senyum mengembang.
“Yayayaya lanjutkan saja khayalanmu,” sahutku disambut cubitan lembut yang ia lakukan ke lenganku.
Aku tumbuh menjadi seorang gadis semampai dengan kulit sawo matang khas orang Indonesia. Sedang Stevie tumbuh menjadi pemuda gagah dan atletis. Sepakbola membentuk tubuhnya dengan indah. Tiba saatnya setelah kelulusan SMA, aku memilih melanjutkan sekolah akademi ke Cambridge University. Dan dia tetap mengembangkan kemampuan mengolah si kulit bundar di akademi Liverpool, Melwood. Meski memilih jalur yang berbeda aku tetap setia menemaninya berlatih di pantai masa kecil kami dulu. Dan seperti biasa, ia tetap bersemangat melakukannya seperti sedia kala.
Akhirnya latihan dan dan kerja kerasnya terbalaskan, ia melakukan debut pertamanya bersama tim senior Liverpool hari itu, tidak hanya sekedar debut ia juga mencetak sebuah gol indah yang ia persembahkan untukku.
“GOOLLL !!!” teriakku penuh histeris
“Lihat ! Lihat ! Ia temanku, ia temanku !”
Seusai pertandingan, kami berjalan menyusuri pantai. Melangkahkan kaki di hamparan pasir kekuning-kuningan yang tersorot sinarnya senja.
“Gol itu untukmu al,” katanya.
“Really ? Thanks ! Tapi aku mau trophy, bukan gol,” gurauku.
“
" I will get it for you, I promise,” ucapnya santai sambil tersenyum sombong.
Hari demi hari ia lalui dengan mulus. Bahkan label “youngstar” telah melekat didirinya. Sampai peristiwa itu tiba. Peristiwa yang merenggut cita dan semangat optimisnya. Pagi itu, ia mempersiapkan dirinya mengikuti sesi latihan seperti biasa. Tapi ada satu hal yang tidak biasa, ia memintaku menemaninya latihan di Melwood.
“Temani aku,” pintanya.
“Steviieee, aku ngantuk tau !” gerutuku.
“Ayolah, hanya sampai gerbang Melwood,”
“Hah ? Hanya sampai gerbang dan kau menyuruhku pulang lagi ??” jawabku sok kaget.
“Kau memang menyebalkan,” tambahku.
Senyum manis nan usil timbul diwajahnya. Seketika saja ia menyeretku yang masih setengah sadar menjauhi rumah. Dengan menenteng sebuah bola ditangannya, ia berjalan pelan menikmati sejuknya kota Merseyside. Aku yang masih dalam kantukku yang luar biasa berjalan linglung dibelakangnya, sampai aku tidak menyadari kehadiran “sesuatu” yang bergerak cepat mendekatinya. Dan sebuah dentuman keras memecah kantukku, ia terbaring diaspal dengan kondisi yang sangat sangat menyedihkan. Sontak aku berteriak dan berusaha mencari bala bantuan. Di rumah sakit aku mendampinginya dengan napas tersengal-sengal. Sampai aku mendengar ucapan sang Dokter yang membuatku shock.
“Kakimu patah dan akan absen sepanjang musim ini bahkan lebih,” ucapnya.
Raut wajahku berubah seketika, terngiyang diingatanku bagaimana ia masih bisa mendribble bola di sepanjang pantai. Dan sekarang ia …. Stevie tak kalah terkejutnya denganku, pancaran optimis yang biasa mengalir di matanya sirna seketika. Ia jatuh dan terpuruk. Bahkan dukungan fans, keluarga dan teman-teman tak mampu mengembalikan keoptimisannya.
“Aku habis. Kau benar Al, aku memang tidak bisa menjadi pesepak bola yang hebat,” ucapnya lirih.
“Apa yang kau bicarakan ? Sampai segini saja usahamu ? Mana Stevie yang aku kenal dulu ? Yang selalu bersemangat menggapai impiannya !” bentakku kasar.
“Aku tidak bisa al,”
-Plakk -
“Kau pembohong ! Kau bilang akan memberiku sebuah piala tapi mana ? Mana ? Aku benci seorang pembohong !” isakku setelah menamparnya.
Ekspresi terkejut mewarnai raut wajahnya. Mungkin ia tak menyangka aku melakukan hal itu. Ia hanya tertuduk lesu.
“You’ll never walk alone. Im here with you,” sahutku sambil mengusap kepalanya.
Ia hanya tersenyum dan menggenggam tanganku erat lalu berkata : “Terimakasih, temanku.”
Keesokan hari dan seterusnya ia bangkit dan berjuang melawan cederanya. Menyangkal perkiraan dokter, Stevie hanya butuh waktu 5 bulan untuk comeback melawan cedera. Ia merintis dari awal karir yang dulu ia pernah bangun. Tapi ia tak pernah mengeluh, dengan sifat optimism dan semangatnya, ia kembali ke puncak karir yang pernah Ia gapai. Dan saat itu tiba, ia mempersembahkan piala pertamanya kepadaku.
Hanya sebuah senyuman bangga yang aku lemparkan kepadanya, kupeluk ia erat seraya berkata, “Kau hebat ! Aku bangga padamu”.
-The End-
Note : Maybe, this is not crazy story like you ask. But in this story, I just wanna show the characters of our captain :D He is powerful, srong, optimist, and ………… continue it J
Penulis : Nabilla Putri Ganu
Twitter :@Nabilla13