Setiap kali aku memasuki stadion Anfield, aku pasti memperlambat laju mobilku saat melewati Shankly Gates. Kedua mataku langsung tertuju ke arah monumen Hillsborough. Aku melihat tugu penghormatan kepada 96 suporter Liverpool yang tak akan pernah kembali dari partai semifinal Piala FA tahun 1989. Aku melihat banyak syal yang ditinggalkan oleh para pengunjung, tanda penghormatan yang tergeletak di samping rangkaian bunga dari para keluarga yang takkan pernah berhenti berduka.
Aku melihat kobaran api yang selalu menyala, mengingatkan dunia akan 96 pendukung yang takkan pernah terlupakan. Saat mobilku melintasi monumen tersebut, aku menyaksikan nama-nama mereka yang tumbang di Lepping Lane End, mereka yang takkan pernah bangkit kembali. Kedua mataku tertuju pada satu nama, Jon-Paul Gilhooley, bocah 10 tahun yang menjadi korban termuda tragedi tersebut di Sheffield. Seorang penggemar yang berpulang setelah mendukung tim yang dia cintai. Seorang bocah yang hidupnya direnggut kematian saat dia baru saja memulainya. Aku tahu Jon-Paul. Dia adalah sepupuku. Tubuhku bergetar seperti ada paku tajam yang menusuk saat aku berdoa untuknya.
Aku masih memikirkan Jon-Paul, keluarganya dan seberapa beruntungnya aku saat memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam Anfield. Aku hampir menjadi korban tragedi yang merenggut nyawa 96 orang tersebut. Aku hanya berbeda satu tahun dengannya tetapi kalau berbicara sepakbola, kami satu pikiran dan semangat. Jon-Paul sangat mengagumi Liverpool, perasaan yang sama saat aku mengenakan kostum merah itu, kami sangat mirip. Jon-Paul sering bermain sepakbola jalanan di luar rumahku di Huyton sambil menggenakan kostum Liverpool-nya. Klub ini sangat berarti untuk Jon-Paul.
Seperti semua orang dari Merseyside, Sabtu 15 April 1989 adalah luka yang akan selalu melekat di ingatanku. Liverpool menjadi sebuah agama di keluargaku. Aku langsung bangkit saat mendengar kabar tersebut dan bergegas untuk berkumpul di depan televisi demi menyaksikan berita. Aku dan ayahku, Paul, ibuku, Julie dan kakaku, Paul duduk bersama, menatap sebuah pemandangan yang sulit untuk dipercaya. Kami mendengarkan berita yang mengguncang jiwa kami. Aku tidak tahan melihat pemandangan tersebut, sebuah pemandangan mengerikan dari Hillsborough. Tak ada satupun dari kami yang mampu mengerti situasi tersebut. Mengapa? bagaimana? siapa? banyak pertanyaan. Suasana rumah kita malam itu sangat buruk. Kita terus mengulang pertanyaan yang sama "Aku ingin tahu apakah ada kerabat dan keluarga yang pergi ke pertandingan itu. Tuhan, tolong katakan tak ada satupun dari kerabat dan keluarga kita di pertandingan itu." Aku pun bergegas untuk tidur.
Aku menaikki tangga rumahku dan langsung melompat ke tempat tidurku untuk menghilangkan kejadian tersebut dari ingatanku. Namun sia-sia, pemandangan dari Hillsborough membuatku tak mampu tertidur. Akhirnya, beberapa jam kemudian, aku terlelap juga. Pukul setengah sembilan pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kami. Aku berlari menuruni tangga dan membuka kuncinya. Ternyata kakekku, Tony yang berdiri di sana. Tanpa sepatah kata, dia langsung memasuki ruang tamu. Kita tahu ada sesuatu yang salah telah terjadi.
Kakekku tinggal di seberang jalan dan ini bukan hal yang biasa terjadi dengan dirinya untuk keluar rumah pada pukul setengah sembilan di Minggu pagi. Kami berpikir pasti ada satu anggota keluarga kami yang tak lolos dari tragedi Hillsborough. Tatapan yang kakekku perlihatkan di wajahnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi. "Aku punya berita buruk" katanya. "Jon-Paul telah meninggal". Kontan air mata, kemarahan dan kebingungan kami pecah.
Aku melihat kobaran api yang selalu menyala, mengingatkan dunia akan 96 pendukung yang takkan pernah terlupakan. Saat mobilku melintasi monumen tersebut, aku menyaksikan nama-nama mereka yang tumbang di Lepping Lane End, mereka yang takkan pernah bangkit kembali. Kedua mataku tertuju pada satu nama, Jon-Paul Gilhooley, bocah 10 tahun yang menjadi korban termuda tragedi tersebut di Sheffield. Seorang penggemar yang berpulang setelah mendukung tim yang dia cintai. Seorang bocah yang hidupnya direnggut kematian saat dia baru saja memulainya. Aku tahu Jon-Paul. Dia adalah sepupuku. Tubuhku bergetar seperti ada paku tajam yang menusuk saat aku berdoa untuknya.
Aku masih memikirkan Jon-Paul, keluarganya dan seberapa beruntungnya aku saat memarkirkan mobilku dan masuk ke dalam Anfield. Aku hampir menjadi korban tragedi yang merenggut nyawa 96 orang tersebut. Aku hanya berbeda satu tahun dengannya tetapi kalau berbicara sepakbola, kami satu pikiran dan semangat. Jon-Paul sangat mengagumi Liverpool, perasaan yang sama saat aku mengenakan kostum merah itu, kami sangat mirip. Jon-Paul sering bermain sepakbola jalanan di luar rumahku di Huyton sambil menggenakan kostum Liverpool-nya. Klub ini sangat berarti untuk Jon-Paul.
Seperti semua orang dari Merseyside, Sabtu 15 April 1989 adalah luka yang akan selalu melekat di ingatanku. Liverpool menjadi sebuah agama di keluargaku. Aku langsung bangkit saat mendengar kabar tersebut dan bergegas untuk berkumpul di depan televisi demi menyaksikan berita. Aku dan ayahku, Paul, ibuku, Julie dan kakaku, Paul duduk bersama, menatap sebuah pemandangan yang sulit untuk dipercaya. Kami mendengarkan berita yang mengguncang jiwa kami. Aku tidak tahan melihat pemandangan tersebut, sebuah pemandangan mengerikan dari Hillsborough. Tak ada satupun dari kami yang mampu mengerti situasi tersebut. Mengapa? bagaimana? siapa? banyak pertanyaan. Suasana rumah kita malam itu sangat buruk. Kita terus mengulang pertanyaan yang sama "Aku ingin tahu apakah ada kerabat dan keluarga yang pergi ke pertandingan itu. Tuhan, tolong katakan tak ada satupun dari kerabat dan keluarga kita di pertandingan itu." Aku pun bergegas untuk tidur.
Aku menaikki tangga rumahku dan langsung melompat ke tempat tidurku untuk menghilangkan kejadian tersebut dari ingatanku. Namun sia-sia, pemandangan dari Hillsborough membuatku tak mampu tertidur. Akhirnya, beberapa jam kemudian, aku terlelap juga. Pukul setengah sembilan pagi, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kami. Aku berlari menuruni tangga dan membuka kuncinya. Ternyata kakekku, Tony yang berdiri di sana. Tanpa sepatah kata, dia langsung memasuki ruang tamu. Kita tahu ada sesuatu yang salah telah terjadi.
Kakekku tinggal di seberang jalan dan ini bukan hal yang biasa terjadi dengan dirinya untuk keluar rumah pada pukul setengah sembilan di Minggu pagi. Kami berpikir pasti ada satu anggota keluarga kami yang tak lolos dari tragedi Hillsborough. Tatapan yang kakekku perlihatkan di wajahnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi. "Aku punya berita buruk" katanya. "Jon-Paul telah meninggal". Kontan air mata, kemarahan dan kebingungan kami pecah.
Kita tidak pernah tahu Jon-Paul ada di pertandingan itu. Dia pergi ke Anfield setiap waktu tetapi semifinal Piala FA adalah hal yang spesial. Kakekku menjelaskan kalau ibunya Jon-Paul berhasil mendapatkan sebuah tiket. Dia tahu seberapa penting hal tersebut untuk Jon-Paul bisa melihat para pahlawannya bertanding di sebuah partai penting. Pertandingan tersebut digelar di Sheffield, 70 mil dari Liverpool dan dia ingin sekali berangkat ke sana. Seorang kerabat yang menghantarkan Jon-Paul. Mereka berangkat dari Liverpool pada Sabtu pagi, tetapi Jon-Paul takkan pernah kembali, dia takkan pernah pulang dari pertandingan tersebut. Kata-kata ini menghantuiku sepanjang waktu.
Pemakaman Jon-Paul dilangsungkan setelah visum dilakukan. Aku tidak pergi ke pemakamannya karena aku harus sekolah. Itu adalah alasan yang orang tuaku berikan. Sebenarnya, aku yakin ayahku tidak ingin aku menghadiri pemakaman tersebut. Kedua orang tuaku ingin melindungiku. Saat itu aku hanya seorang anak kecil yang berusaha mengerti kalau sepupuku telah tiada ketika pergi mendukung tim yang kita kagumi. Aku saat itu menjalani hari pertamaku di Liverpool's Center of Excellence dan latihan pertamaku dibatalkan menyusul tragedi Hillsborough. Saat kami kembali memulainya, aku bisa berkata kalau wajah-wajah terkejut yang ditampakkan pelatih-pelatihku menandakan bahwa tragedi ini telah mempengaruhi seluruh klub dan seluruh isi kota. Hillsborough kemudian menjadi bahan pembicaraan kami selama beberapa bulan. Meski sampai sekarang, 17 tahun kemudian, kita masih membicarakan hal yang tetap menimbulkan kemarahan dan rasa sakit yang mendalam.
Pemakaman Jon-Paul dilangsungkan setelah visum dilakukan. Aku tidak pergi ke pemakamannya karena aku harus sekolah. Itu adalah alasan yang orang tuaku berikan. Sebenarnya, aku yakin ayahku tidak ingin aku menghadiri pemakaman tersebut. Kedua orang tuaku ingin melindungiku. Saat itu aku hanya seorang anak kecil yang berusaha mengerti kalau sepupuku telah tiada ketika pergi mendukung tim yang kita kagumi. Aku saat itu menjalani hari pertamaku di Liverpool's Center of Excellence dan latihan pertamaku dibatalkan menyusul tragedi Hillsborough. Saat kami kembali memulainya, aku bisa berkata kalau wajah-wajah terkejut yang ditampakkan pelatih-pelatihku menandakan bahwa tragedi ini telah mempengaruhi seluruh klub dan seluruh isi kota. Hillsborough kemudian menjadi bahan pembicaraan kami selama beberapa bulan. Meski sampai sekarang, 17 tahun kemudian, kita masih membicarakan hal yang tetap menimbulkan kemarahan dan rasa sakit yang mendalam.
Tiap kali aku memandang kedua orang tua Jon-Paul di tempat latihan selama masa percobaanku di Anfield, aku merasa mereka memberikan semangat lebih kepadaku untuk sukses. Hanya beberapa hari sebelum aku melakukan debutku untuk Liverpool, mereka berkata "Jon-Paul akan sangat bangga kepadamu'. Selama pertandingan, aku merasa Jon-Paul melihatku dari atas sana, bahagia melihat aku telah mencapai mimpi yang selalu kita bicarakan dulu. Saat kemenangan diraih, aku selalu berpikir tentang Jon-Paul dan reaksinya saat Liverpool memenangkan sesuatu. Ini membuatku sangat sedih saat memikirkan Jon-Paul telah tiada.
Liverpool sangat berjasa kepada keluarga Jon-Paul. Mereka sangat perhatian dan sangat membantu para keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai di Hillsborough. Mereka (Liverpool) masih melakukan hal tersebut. Liverpool adalah klub yang sangat mengasihi para keluarga korban. Aku ingat saat Jackie bercerita tentang bagaimana Liverpool memperlakukan mereka kepada ayahku.
Liverpool sangat berjasa kepada keluarga Jon-Paul. Mereka sangat perhatian dan sangat membantu para keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai di Hillsborough. Mereka (Liverpool) masih melakukan hal tersebut. Liverpool adalah klub yang sangat mengasihi para keluarga korban. Aku ingat saat Jackie bercerita tentang bagaimana Liverpool memperlakukan mereka kepada ayahku.
Tiap tahun, upacara penghormatan tragedi Hillsborough digelar, Liverpool menggelarnya di Anfield. Ini adalah sebuah kewajiban para pemain untuk menghadiri acara tersebut. Tim harus menunjukkan rasa hormat mereka kepada 96 korban tragedi tersebut. Pada tahun 2005, aku terserang flu tetapi aku tetap berangkat. Aku tidak akan melewatkan upacara penghormatan Hillsborough tersebut. Ini adalah bagian dari hidupku.
Para pemain biasanya bertemu di tempat latihan kami, Melwood dan menumpang bis menuju Anfield. Sepanjang perjalanan, aku berbicara kepada beberapa pemain dari luar negeri yang tidak mengerti. 'Kita akan pergi kemana?' mereka bertanya 'Apa yang kita akan lakukan?' mereka telah mendengar kejadian tragedi Hillsborough tetapi mereka tidak tahun cerita lebih lengkapnya. Aku menceritakannya dan mereka duduk dekatku dengan wajah yang terkejut tanpa kata-kata. Aku menjelaskan bahwa ada kemarahan yang sangat besar setelah tragedi Hillsborough, yang mungkin menjadi pernyataan menyerang terburuk yang pernah ditulis koran The Sun. The Sun tidak akan pernah terlihat lagi di Melwood, Anfield atau di rumahku.
Aku seorang pendukung Liverpool jadi aku menghormati pandangan mereka dan aku juga kehilangan anggota keluargaku di Hillsborough. Aku tidak akan menyentuh koran tersebut. Para pemain luar negeri sangat menghormati hal tersebut. Aku belum pernah melihat di antara mereka yang tidak menghormati tragedi ini. Mereka selalu pergi ke acara penghormatan. Itu adalah kredit untuk mereka dan Liverpool, sebuah tanda penghormatan dari lubuk hati yang paling dalam meskipun bagi seorang pemain baru.
Perjalanan tersebut cukup aneh untukku. Aku berangkat dengan timku. Dan saat aku tiba, aku melihat keluargaku dan semua doa dipanjatkan untuk Jon-Paul langsung membanjiri Anfield. Untukku, ini bukan sebuah kewajiban untuk pergi ke acara penghormatan. Namun ini jelas urusan pribadi. Aku berdiri di sana dengan kepalaku tertunduk sebagai rekan dan juga kapten tim ini. Liverpool biasanya membuka The Kop, tempat di mana Jon-Paul dan banyak dari mereka yang kehilangan nyawa biasanya menghabiskan Sabtu siangnya. Upacara penghormatan berjalan dua jam. Kita menyanyikan lagu penghormatan, memanjatkan doa dan berduka untuk para korban tragedi.
Di tahun 2006, aku membaca sesuatu yang membuatku sangat tersentuh. Dalam beberapa kesempatan di upacara penghormatan, aku berbicara dengan Paul Harrison, mantan kiper tim cadangan Liverpool. Paul kehilangan ayahnya di Hillsborough. Sungguh mengerikan. Aku tidak dapat membayangkan hidup tanpa kedua orang tuaku. Para keluarga saling mendukung satu sama lainnya. Di Liverpool, You'll Never Walk Alone adalah lagu yang berisikan rangkaian kata-kata dan sebuah nada yang hebat tentang ikatan yang erat di antara orang-orang. Kita selalu mendukung di momen yang buruk dan bagus. Orang-orang yang menjalankan Hillsborough Families' Group (HFG) pantas untuk disematkan banyak pujian. Mereka menginginkan keadilan dan mereka tidak pernah menyerah.
Ada beberapa keluarga sepanjang kota Liverpool yang hidup dengan satu kursi kosong di mejanya, dan sebuah kamar tidur yang tak pernah tersentuh karena ditinggal pergi para korban. Mereka pantas untuk mendapatkan keadilan ini. Aku mendukung penuh kampanye ini karena aku ingin. Kita harus tahu apa yang terjadi di Hillsborough dan siapa yang harus disalahkan. Tindakan harus segera diambil melawan mereka yang membiarkan ke-96 korban tak bersalah tersebut gugur. Sepupuku meningal di Hillsborough dan dia belum mendapatkan keadilannya. Ketika aku melakukan pemanasan di Anfield aku melihat spanduk bertuliskan 'Keadilan untuk The 96' terpampang jelas dan aku setuju dengan hal tersebut.
Pemerintah harus segera menyelenggarakan penyelidikan lebih mendalam lagi. Karena hanya dengan cara itu para keluarga korban tahu keadilan mereka telah ditegakkan. Sebuah tragedi yang seharusnya bisa dihindari. Tragedi Hillsborogh tak boleh terjadi lagi. Tidak ada yang pantas kehilangan nyawa atau seorang kerabat dalam sebuah pertandingan sepakbola. Setiap kali aku melihat nama Jon Paul terpampang pada monumen penghormatan di luar Shankly Gates, aku dipenuhi rasa sedih dan kemarahan. Aku belum pernah membiarkan orang lain tahu hal ini sebelumnya, tetapi itu benar: Aku bermain untuk Jon-Paul
Steven Gerrard
Para pemain biasanya bertemu di tempat latihan kami, Melwood dan menumpang bis menuju Anfield. Sepanjang perjalanan, aku berbicara kepada beberapa pemain dari luar negeri yang tidak mengerti. 'Kita akan pergi kemana?' mereka bertanya 'Apa yang kita akan lakukan?' mereka telah mendengar kejadian tragedi Hillsborough tetapi mereka tidak tahun cerita lebih lengkapnya. Aku menceritakannya dan mereka duduk dekatku dengan wajah yang terkejut tanpa kata-kata. Aku menjelaskan bahwa ada kemarahan yang sangat besar setelah tragedi Hillsborough, yang mungkin menjadi pernyataan menyerang terburuk yang pernah ditulis koran The Sun. The Sun tidak akan pernah terlihat lagi di Melwood, Anfield atau di rumahku.
Aku seorang pendukung Liverpool jadi aku menghormati pandangan mereka dan aku juga kehilangan anggota keluargaku di Hillsborough. Aku tidak akan menyentuh koran tersebut. Para pemain luar negeri sangat menghormati hal tersebut. Aku belum pernah melihat di antara mereka yang tidak menghormati tragedi ini. Mereka selalu pergi ke acara penghormatan. Itu adalah kredit untuk mereka dan Liverpool, sebuah tanda penghormatan dari lubuk hati yang paling dalam meskipun bagi seorang pemain baru.
Perjalanan tersebut cukup aneh untukku. Aku berangkat dengan timku. Dan saat aku tiba, aku melihat keluargaku dan semua doa dipanjatkan untuk Jon-Paul langsung membanjiri Anfield. Untukku, ini bukan sebuah kewajiban untuk pergi ke acara penghormatan. Namun ini jelas urusan pribadi. Aku berdiri di sana dengan kepalaku tertunduk sebagai rekan dan juga kapten tim ini. Liverpool biasanya membuka The Kop, tempat di mana Jon-Paul dan banyak dari mereka yang kehilangan nyawa biasanya menghabiskan Sabtu siangnya. Upacara penghormatan berjalan dua jam. Kita menyanyikan lagu penghormatan, memanjatkan doa dan berduka untuk para korban tragedi.
Di tahun 2006, aku membaca sesuatu yang membuatku sangat tersentuh. Dalam beberapa kesempatan di upacara penghormatan, aku berbicara dengan Paul Harrison, mantan kiper tim cadangan Liverpool. Paul kehilangan ayahnya di Hillsborough. Sungguh mengerikan. Aku tidak dapat membayangkan hidup tanpa kedua orang tuaku. Para keluarga saling mendukung satu sama lainnya. Di Liverpool, You'll Never Walk Alone adalah lagu yang berisikan rangkaian kata-kata dan sebuah nada yang hebat tentang ikatan yang erat di antara orang-orang. Kita selalu mendukung di momen yang buruk dan bagus. Orang-orang yang menjalankan Hillsborough Families' Group (HFG) pantas untuk disematkan banyak pujian. Mereka menginginkan keadilan dan mereka tidak pernah menyerah.
Ada beberapa keluarga sepanjang kota Liverpool yang hidup dengan satu kursi kosong di mejanya, dan sebuah kamar tidur yang tak pernah tersentuh karena ditinggal pergi para korban. Mereka pantas untuk mendapatkan keadilan ini. Aku mendukung penuh kampanye ini karena aku ingin. Kita harus tahu apa yang terjadi di Hillsborough dan siapa yang harus disalahkan. Tindakan harus segera diambil melawan mereka yang membiarkan ke-96 korban tak bersalah tersebut gugur. Sepupuku meningal di Hillsborough dan dia belum mendapatkan keadilannya. Ketika aku melakukan pemanasan di Anfield aku melihat spanduk bertuliskan 'Keadilan untuk The 96' terpampang jelas dan aku setuju dengan hal tersebut.
Pemerintah harus segera menyelenggarakan penyelidikan lebih mendalam lagi. Karena hanya dengan cara itu para keluarga korban tahu keadilan mereka telah ditegakkan. Sebuah tragedi yang seharusnya bisa dihindari. Tragedi Hillsborogh tak boleh terjadi lagi. Tidak ada yang pantas kehilangan nyawa atau seorang kerabat dalam sebuah pertandingan sepakbola. Setiap kali aku melihat nama Jon Paul terpampang pada monumen penghormatan di luar Shankly Gates, aku dipenuhi rasa sedih dan kemarahan. Aku belum pernah membiarkan orang lain tahu hal ini sebelumnya, tetapi itu benar: Aku bermain untuk Jon-Paul
Steven Gerrard
Sumber: Steven Gerrard: My Autobiography
loss of a family member is the most painful thing especially the person is so close to us,,,
ReplyDeletefor gerrard and all the victims I hilsbrough condolence, hopefully this case quickly completed and the spirits of the victims received in the one almighty God
loss of a family member is the most painful thing especially the person is so close to us,,,
ReplyDeletefor gerrard and all the victims I hilsbrough condolence, hopefully this case quickly completed and the spirits of the victims received in the one almighty God
sedih tulisannya
ReplyDelete